2013年9月16日月曜日

Sekolah Ideal | a rant...

*warning; Indonesian rant ahead. This rant was made by an angered and motivated me; it was supposed to be for some kind of essay contest but I lost, so meh.
Sekolah adalah tempat di mana anak-anak menghabiskan waktu hampir 9 jam dalam seharinya. Dalam waktu yang sekian banyak ini, pastilah sekolah berperan besar dalam membentuk karakter anak dan mengembangkan kemampuan mereka, baik dalam hal intelektual maupun kemampuan sosialnya. Sekolah menjadi salah satu pilar penting, selain orangtua (keluarga), masyarakat dan pemerintah, dalam menyiapkan anak-anak menjadi pemimpin yang tangguh di masa depan.

Karena itu menjadi sangat penting untuk membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi murid-muridnya. Sebagai rumah ke dua, sekolah harus mampu membuat murid-murid yang bersekolah merasa seperti di rumah sendiri. Tempat di mana murid-murid menemukan keluarga yang menyenangkan, sekaligus tempat menimba ilmu yang berkualitas.

Masalahnya sekarang, menciptakan sekolah yang ideal seperti ini tentu tidaklah mudah. Apalagi tanpa dukungan dari berbagai pihak yang terlibat, tentu sangat sulit mewujudkannya.

Salah satu pihak yang memainkan peran penting di dalam mewujudkan sekolah yang ideal adalah Guru. Guru, bagi saya adalah ruh sebuah sekolah. Di tangan gurulah, sukses atau tidaknya sebuah sekolah akan terwujud.

Sebagai seorang murid, saya sering menemui  beberapa kesalahan yang sering dilakukan guru di sekolah. Hal ini sering menimbulkan rasa tidak enak bagi murid, sehingga kemudian akan membuat  murid tidak menyukai dan menghormati guru.

Pertama, guru-guru sudah biasa melabeli (mencap) murid-murid. Misalnya, si A itu malas, si B itu nakal, dan lain sebagainya. Tradisi labeling ini membuat citra diri anak rusak.  Cap atau labeling seperti ini akan membuat anak mempersepsi dirinya persis seperti label yang diterakan pada dirinya.

Bagi saya, seharusnya Guru selalu berusaha mengambil sisi positif dari muridnya, kemudian mengembangkannya, sembari berusaha meperbaiki kekurangan murid, tanpa harus merendahkan si murid.
Masalah kedua adalah membandingkan murid-murid. Pembandingan ini banyak sekali contohnya; misalnya “Coba kamu lebih seperti si A, coba kamu lebih seperti si B—“ dan lain sebagainya. Bahkan ada juga orangtua yang seperti ini; tidak hanya pada guru yang melakukan kesalahan tersebut.

Pembandingan ini bisa banyak sekali akibatnya. Pada orang yang di sisi ‘negatif’, yaitu yang dibandingkan, mereka akan merasa menjadi lebih kecil—lebih buruk, lebih jelek, lebih rendah—dibandingkan ‘pembanding’-nya.

Sedangkan, di sisi ‘pembanding’, para ‘pembanding’ ini bisa mengeluarkan berbagai macam reaksi. Contohnya, ada ‘pembanding’ yang menjadi sombong dan merasa lebih tinggi. Ada juga yang merasa tidak ingin dibandingkan.

Suatu kelas pernah sampai-sampai menulis tulisan, “KELAS KAMI BUKAN PEMBANDING.”—dan menempelnya di depan kelas. Kelas ini adalah kelas yang terkenal berisi anak-anak yang pintar; dan setiap hari mereka ditekan dengan kata-kata seperti,”Dibandingkan kelas lain, kalian lebih diatas.” Dan “Kalian harus menjadi yang terbaik, menjadi contoh teladan,” dan lain sebagainya.Ini juga salah satu masalah yang sering ditemui, yaitu menekan murid dengan kata-kata yang menurut guru tidak menekan.

Kata-kata seperti  “Dibandingkan kelas lain, kalian lebih diatas.” –secara sekilas, mungkin hanya terdengar seperti  pujian;  tapi, bagi yang mendapatkannya, selain pujian, itu juga merupakan tekanan.Jika  nilai mereka turun, meerka bisa berpikir bahwa berarti ekspektasi orang sudah mereka ‘khianati’. Apabila anak ditekan seperti ini, mereka akan lebih cepat lelah, dan mungkin malah membelok ke jalan yang salah.

Sebagai murid, saya menemukan bahwa dalam kondisi marah, para guru sering sekali mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya dikatakan oleh guru. Karena bukannya kemudian membuat murid menurut, tapi malah justru membuat mereka memberontak.

Sementara di sisi lain, sistem pembelajaran di kelas, lebih banyak terjadi komunikasi searah. Guru berbicara, murid mendengar, sehingga sukses tidaknya sebuah materi pembelajaran disampaikan, sepenuhnya tergantung pada kepandaian guru mengajar. Murid-murid tidak terbiasa untuk mencari tahu sendiri, dan bersikap kritis terhadap materi pelajaran yang dikuasai. Saya sendiri lebih suka jika sekolah memberi kisi-kisi, materi yang harus dikuasai, lalu saya mencari sendiri materi itu. Bukankah teknologi memberi kita kemudahan untuk belajar dan mencari jawaban atas banyak pertanyaan kita? Ketika murid sudah mengumpulkan materi pelajaran, menuliskannya dengan rapi, maka di kelas akan  terjadi diskusi interaktif antara guru dan murid untuk membahas materi yang sudah dikumpulkan oleh murid. Guru hanya menambah yang kurang dan menjelaskan hal yang tidak dimengerti murid.

Bagi saya guru yang ideal adalah guru yang pandai mengendalikan amarah dan memilih kata-kata yang tepat untuk memotivasi dan menyemangati muridnya agar berbuat lebih baik lagi. Guru harus bisa mengenali kekurangan dan kelebihan muridnya sehingga mereka bisa mengeksplor kelebihan murid sembari memperbaiki kekurangan tanpa harus melabelinya dengan hal-hal negatif.

Harus diketahui bahwa pada umumnya, murid-murid, apabila menyukai seorang guru, juga akan menyukai pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. Sebaliknya, apabila mereka tidak menyukai seorang guru, maka pelajaran yang diajarkannya otomatis akan tidak disukainya pula.

Sekolah yang ideal hanya bisa terwujud dengan kerja sama yang baik antara sekolah, siswa, dan orangtua. Hubungan antar siswa, juga sangat berperan penting. Sekolah yang nyaman akan terwujud jika hubungan antar siswa terjalin dengan baik atas dasar saling menghormati, dan saling membantu.

Bullying, merupakan salah satu persoalan yang sering dihadapi  di sekolah.  Anak yang lebih kuat, menekan anak yang lebih lemah. Mulai dari ejekan, sampai ke kekerasan fisik. Banyak kejadian bullying di sekolah yang  berakhir dengan tragis. Kenapa  bullying sering terjadi di sekolah? Bahkan sering lolos dari pengamatan guru, sehingga korban bullying masih sering berjatuhan.

Beberapa anak melakukan bullying terhadap temannya karena ingin menunjukkan kekuasaan dan kehebatannya. Mereka merasa keren ketika anak lain takut dan menuruti kemauannya. Mereka puas jika bisa memegang kendali atas orang lain. Sementara bagi korban bullying, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang memiliki kepercayaan diri rendah. Mudah takut, dan berjiwa lemah.

Bullying bisa diatasi jika sekolah mampu mengembangkan sistem sosial yang bagus. Guru, terutama guru kelas, harus mengenal setiap murid di kelasnya secara personal. Mengerti karakter masing-masing murid, dan bagaimana menangani mereka. Terlebih, guru harus punya perhatian yang besar, dan mampu menangkap, jika terjadi sesuatu yang tidak lazim terhadap murid-muridnya. Mengenali perilaku berbeda yang ditunjukkan muridnya. Sehingga bisa mencegah jika ada indikasi terjadi sesuatu yang  tidak benar. Di sinilah kemudian Guru BK mengambil alih peran guru kelas.

Kerjasama antara guru BK dan orangtua murid, akan sangat diperlukan khususnya pada murid-murid yang ‘bermasalah’. Murid yang terlalu dominan, atau murid yang terlalu tidak dominan. Kedua karakter ini memerlukan penanganan khusus agar tidak menimbulkan masalah bagi keharmonisan suasana di sekolah, dan yang terpenting juga menimbulkan masalah bagi murid itu sendiri.

Disamping pihak yang terlibat, maka sarana dan prasarana sekolah harus diperbaiki kualitasnya, seperti toilet yang harus dijaga kebersihannya, yang mana itu merupakan tanggung jawab seluruh penghuni sekolah. Masalah kantin—yaitu kualitas makanan yang dijual yang dipertanyakan. Ada pula masalah Wi-Fi; sebenarnya Wi-Fi dapat mudah sekali disalahgunakan.

Contohnya, di kelas murid dapat bermain handphone apabila guru tidak pernah memantau. Di mana saja mereka dapat mengakses internet, yang kalau tidak disaring secara benar, berisi hal-hal yang buruk yang tidak sepantasnya dilihat oleh murid-murid.

Lingkungan kelas harus dibuat nyaman, karena anak-anak menghabiskan ¾ waktunya di sekolah didalam kelas. Lingkungan sekolah juga harus dihijaukan, memperbanyak tanaman hias dan pohon-pohonan yang rindang; karena suasana segar juga berarti siswa nyaman—warna hijau juga akan menenangkan dan mengurangi agresivitas orang.

Paparan di atas sebenarnya hanyalah sedikit dari banyak beberapa persoalan yang harus dihadapi dan dipecahkan jika ingin mewujudkan sekolah menjadi sekolah yang ideal. Karena sebenarnya banyak faktor yang harus dibenahi dan dibangun jika ingin mencapainya. Sebagai langkah awal, sekolah harus mampu membangun sistem yang bagus, yang melibatkan semua pilar yang terlibat, menggerakkan dan memotivasi agar semua mau bekerja keras dan bekerja sama untuk mewujudkan sekolah menjadi tempat yang ideal dan nyaman bagi anak-anak di dalam mereka menimba ilmu dan membentuk karakter yang baik. Tentu tidak mudah , namun bukan berarti tidak mungkin.

0 件のコメント:

コメントを投稿