*warning; Indonesian rant ahead. This rant was made by an angered and motivated me; it was supposed to be for some kind of essay contest but I lost, so meh.
Sekolah adalah tempat di mana anak-anak menghabiskan waktu
hampir 9 jam dalam seharinya. Dalam waktu yang sekian banyak ini, pastilah
sekolah berperan besar dalam membentuk karakter anak dan mengembangkan
kemampuan mereka, baik dalam hal intelektual maupun kemampuan sosialnya.
Sekolah menjadi salah satu pilar penting, selain orangtua (keluarga),
masyarakat dan pemerintah, dalam menyiapkan anak-anak menjadi pemimpin yang
tangguh di masa depan.
Karena itu menjadi sangat penting untuk membuat sekolah
menjadi tempat yang nyaman bagi murid-muridnya. Sebagai rumah ke dua, sekolah
harus mampu membuat murid-murid yang bersekolah merasa seperti di rumah
sendiri. Tempat di mana murid-murid menemukan keluarga yang menyenangkan,
sekaligus tempat menimba ilmu yang berkualitas.
Masalahnya sekarang, menciptakan sekolah yang ideal seperti
ini tentu tidaklah mudah. Apalagi tanpa dukungan dari berbagai pihak yang
terlibat, tentu sangat sulit mewujudkannya.
Salah satu pihak yang memainkan peran penting di dalam
mewujudkan sekolah yang ideal adalah Guru. Guru, bagi saya adalah ruh sebuah
sekolah. Di tangan gurulah, sukses atau tidaknya sebuah sekolah akan terwujud.
Sebagai seorang murid, saya sering menemui beberapa kesalahan yang sering dilakukan guru
di sekolah. Hal ini sering menimbulkan rasa tidak enak bagi murid, sehingga
kemudian akan membuat murid tidak
menyukai dan menghormati guru.
Pertama, guru-guru sudah biasa melabeli (mencap)
murid-murid. Misalnya, si A itu malas, si B itu nakal, dan lain sebagainya.
Tradisi labeling ini membuat citra diri anak rusak. Cap atau labeling seperti ini akan membuat
anak mempersepsi dirinya persis seperti label yang diterakan pada dirinya.
Bagi saya, seharusnya Guru selalu berusaha mengambil sisi
positif dari muridnya, kemudian mengembangkannya, sembari berusaha meperbaiki
kekurangan murid, tanpa harus merendahkan si murid.
Masalah kedua adalah membandingkan murid-murid. Pembandingan
ini banyak sekali contohnya; misalnya “Coba kamu lebih seperti si A, coba kamu
lebih seperti si B—“ dan lain sebagainya. Bahkan ada juga orangtua yang seperti
ini; tidak hanya pada guru yang melakukan kesalahan tersebut.
Pembandingan ini bisa banyak sekali akibatnya. Pada orang
yang di sisi ‘negatif’, yaitu yang dibandingkan, mereka akan merasa menjadi lebih
kecil—lebih buruk, lebih jelek, lebih rendah—dibandingkan ‘pembanding’-nya.
Sedangkan, di sisi ‘pembanding’, para ‘pembanding’ ini bisa
mengeluarkan berbagai macam reaksi. Contohnya, ada ‘pembanding’ yang menjadi
sombong dan merasa lebih tinggi. Ada juga yang merasa tidak ingin dibandingkan.
Suatu kelas pernah sampai-sampai menulis tulisan, “KELAS
KAMI BUKAN PEMBANDING.”—dan menempelnya di depan kelas. Kelas ini adalah kelas
yang terkenal berisi anak-anak yang pintar; dan setiap hari mereka ditekan dengan
kata-kata seperti,”Dibandingkan kelas lain, kalian lebih diatas.” Dan “Kalian
harus menjadi yang terbaik, menjadi contoh teladan,” dan lain sebagainya.Ini
juga salah satu masalah yang sering ditemui, yaitu menekan murid dengan
kata-kata yang menurut guru tidak menekan.
Kata-kata seperti
“Dibandingkan kelas lain, kalian lebih diatas.” –secara sekilas, mungkin
hanya terdengar seperti pujian; tapi, bagi yang mendapatkannya, selain
pujian, itu juga merupakan tekanan.Jika
nilai mereka turun, meerka bisa berpikir bahwa berarti ekspektasi orang
sudah mereka ‘khianati’. Apabila anak ditekan seperti ini, mereka akan lebih
cepat lelah, dan mungkin malah membelok ke jalan yang salah.
Sebagai murid, saya menemukan bahwa dalam kondisi marah,
para guru sering sekali mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya
dikatakan oleh guru. Karena bukannya kemudian membuat murid menurut, tapi malah
justru membuat mereka memberontak.
Sementara di sisi lain, sistem pembelajaran di kelas, lebih
banyak terjadi komunikasi searah. Guru berbicara, murid mendengar, sehingga
sukses tidaknya sebuah materi pembelajaran disampaikan, sepenuhnya tergantung
pada kepandaian guru mengajar. Murid-murid tidak terbiasa untuk mencari tahu
sendiri, dan bersikap kritis terhadap materi pelajaran yang dikuasai. Saya
sendiri lebih suka jika sekolah memberi kisi-kisi, materi yang harus dikuasai,
lalu saya mencari sendiri materi itu. Bukankah teknologi memberi kita kemudahan
untuk belajar dan mencari jawaban atas banyak pertanyaan kita? Ketika murid
sudah mengumpulkan materi pelajaran, menuliskannya dengan rapi, maka di kelas
akan terjadi diskusi interaktif antara
guru dan murid untuk membahas materi yang sudah dikumpulkan oleh murid. Guru
hanya menambah yang kurang dan menjelaskan hal yang tidak dimengerti murid.
Bagi saya guru yang ideal adalah guru yang pandai
mengendalikan amarah dan memilih kata-kata yang tepat untuk memotivasi dan
menyemangati muridnya agar berbuat lebih baik lagi. Guru harus bisa mengenali
kekurangan dan kelebihan muridnya sehingga mereka bisa mengeksplor kelebihan
murid sembari memperbaiki kekurangan tanpa harus melabelinya dengan hal-hal
negatif.
Harus diketahui bahwa pada umumnya, murid-murid, apabila
menyukai seorang guru, juga akan menyukai pelajaran yang diajarkan oleh guru
tersebut. Sebaliknya, apabila mereka tidak menyukai seorang guru, maka
pelajaran yang diajarkannya otomatis akan tidak disukainya pula.
Sekolah yang ideal hanya bisa terwujud dengan kerja sama
yang baik antara sekolah, siswa, dan orangtua. Hubungan antar siswa, juga
sangat berperan penting. Sekolah yang nyaman akan terwujud jika hubungan antar
siswa terjalin dengan baik atas dasar saling menghormati, dan saling membantu.
Bullying, merupakan salah satu persoalan yang sering
dihadapi di sekolah. Anak yang lebih kuat, menekan anak yang lebih
lemah. Mulai dari ejekan, sampai ke kekerasan fisik. Banyak kejadian bullying
di sekolah yang berakhir dengan tragis.
Kenapa bullying sering terjadi di
sekolah? Bahkan sering lolos dari pengamatan guru, sehingga korban bullying
masih sering berjatuhan.
Beberapa anak melakukan bullying terhadap temannya karena
ingin menunjukkan kekuasaan dan kehebatannya. Mereka merasa keren ketika anak
lain takut dan menuruti kemauannya. Mereka puas jika bisa memegang kendali atas
orang lain. Sementara bagi korban bullying, kebanyakan dari mereka adalah
anak-anak yang memiliki kepercayaan diri rendah. Mudah takut, dan berjiwa
lemah.
Bullying bisa diatasi jika sekolah mampu mengembangkan
sistem sosial yang bagus. Guru, terutama guru kelas, harus mengenal setiap
murid di kelasnya secara personal. Mengerti karakter masing-masing murid, dan
bagaimana menangani mereka. Terlebih, guru harus punya perhatian yang besar,
dan mampu menangkap, jika terjadi sesuatu yang tidak lazim terhadap
murid-muridnya. Mengenali perilaku berbeda yang ditunjukkan muridnya. Sehingga
bisa mencegah jika ada indikasi terjadi sesuatu yang tidak benar. Di sinilah kemudian Guru BK mengambil
alih peran guru kelas.
Kerjasama antara guru BK dan orangtua murid, akan sangat
diperlukan khususnya pada murid-murid yang ‘bermasalah’. Murid yang terlalu
dominan, atau murid yang terlalu tidak dominan. Kedua karakter ini memerlukan
penanganan khusus agar tidak menimbulkan masalah bagi keharmonisan suasana di
sekolah, dan yang terpenting juga menimbulkan masalah bagi murid itu sendiri.
Disamping pihak yang terlibat, maka sarana dan prasarana
sekolah harus diperbaiki kualitasnya, seperti toilet yang harus dijaga
kebersihannya, yang mana itu merupakan tanggung jawab seluruh penghuni sekolah.
Masalah kantin—yaitu kualitas makanan yang dijual yang dipertanyakan. Ada pula
masalah Wi-Fi; sebenarnya Wi-Fi dapat mudah sekali disalahgunakan.
Contohnya, di kelas murid dapat bermain handphone apabila
guru tidak pernah memantau. Di mana saja mereka dapat mengakses internet, yang
kalau tidak disaring secara benar, berisi hal-hal yang buruk yang tidak sepantasnya
dilihat oleh murid-murid.
Lingkungan kelas harus dibuat nyaman, karena anak-anak
menghabiskan ¾ waktunya di sekolah didalam kelas. Lingkungan sekolah juga harus
dihijaukan, memperbanyak tanaman hias dan pohon-pohonan yang rindang; karena
suasana segar juga berarti siswa nyaman—warna hijau juga akan menenangkan dan
mengurangi agresivitas orang.
Paparan di atas sebenarnya hanyalah sedikit dari banyak
beberapa persoalan yang harus dihadapi dan dipecahkan jika ingin mewujudkan
sekolah menjadi sekolah yang ideal. Karena sebenarnya banyak faktor yang harus
dibenahi dan dibangun jika ingin mencapainya. Sebagai langkah awal, sekolah
harus mampu membangun sistem yang bagus, yang melibatkan semua pilar yang
terlibat, menggerakkan dan memotivasi agar semua mau bekerja keras dan bekerja
sama untuk mewujudkan sekolah menjadi tempat yang ideal dan nyaman bagi
anak-anak di dalam mereka menimba ilmu dan membentuk karakter yang baik. Tentu
tidak mudah , namun bukan berarti tidak mungkin.
0 件のコメント:
コメントを投稿